Suatu waktu, Saya pernah bertamu di rumah seseorang. Seperti biasa, Kita mulai kenalan dengan mengenalkan nama. Lanjut pertanyaan selanjutnya yaitu pekerjaan. Bertanya soal pekerjaan memang rada-rada berat dijawab oleh orang tertentu, apalagi jika pekerjaannya itu tidak ada dalam list yang dianggap sebagai pekerjaan wow, mewah, dan bergengsi, setidak-tidaknya PNS lah. Biasanya kurang power full mengucapkannya.
Saya menyebutkan jika saat ini Saya sebagai Imam masjid. Sontak Ia langsung menanggapi, "Imam-imam ji dih?" Saya dengar tanggapannya itu langsung kena mental. Segitunya kah Imam di benak Dia?
Spontan Saya menanggapi tanggapannya itu, sebagai tanggapan yang berlebihan bahkan 'kurang ajar' setidaknya dalam penafsiran Saya, merujuk dengan bahasa dan nada yang Dia gunakan.
Lanjut, Ia juga bertanya "Apakah Imam itu punya Gaji?" Saya lalu diam, tidak ingin memperpanjang. Cari pembahasan lain. Entah bagi Dia itu merupakan hal yang biasa saja, mungkin saja.
Padahal, jadi imam itu istimewa. Itupula alasannya Saya memilih jadi Imam. Setidaknya, hafalan bisa terus bertambah atau semakin kuat. Karena sering dipake, sering dibaca. Jadi imam bisa menjadi filter tersendiri bagi diri untuk tetap melakukan hal-hal yang baik, sebab tanggungjawab moral.
Jadi imam, bisa saja izin untuk tidak hadir, tapi tidak bisa izin untuk terlambat. Jika timer sudah berhenti, itu artinya Solat pasti akan dimulai.
****
Bagi anak kuliah, menjadi Imam adalah sesuatu hal yang cukup diimpikan. Karena selain berpahala, juga berma'isyah (punya penghidupan). Seperti halnya Saya, dulu masuk kuliah untuk tanggulangi biaya pendaftaran itu dari hasil Imam Tarwih di bulan Ramadan.
Comments
Post a Comment