Menanamkan Nilai Spirit Dakwah
"Kebaikan
(Dakwah) itu ibarat Kipas Angin. Jika ia tetap bergerak maka akan terus
memberikan kesejukan bagi orang lain. Tetapi, jika ia berhenti untuk bergerak
maka ia tidak lagi bisa memberikan kebaikan pada orang lain." UABM
Suatu waktu dalam kajian Subuh dimana beliau yang menjadi pemateri rutin, dihadiri oleh para mahasiswa dan Mahasiswi Ma’had al Birr Saya mendapat suatu insight baru tentang kepekaan pada Dakwah. Bahwa dakwah ini adalah amanah yang harus tertananam dalam diri Kita. Kita tidak boleh abaikan amanah yang satu ini.
Ketika Ustadz
Abbas memberikan suatu contoh yang sangat mengena bagi Kami.
“Jangan-jangan
ketidak islamnya dan pahamnya saudara-sudara Kita yang ada di Toraja sana
adalah bentuk kelalaian Kita kepada Dakwah. Yang kelak Allah akan memintai
pertanggunjawaban Kita di Akhirat Kelak” ujarnya.
Mendengar
ungkapan beliau itu, Saya langsung menarik napas. Mencoba merenungkan kembali
apa yang baru saja beliau sampaikan. Bisa jadi betul banyak saudara-saudara
tidak mengenal islam karena Kita tidak peka dan mengambil amanah yang satu ini.
Kita acuh tak acuh dengan urusan ini. Menganggap ini bukan sebagai tugas utama.
Realitas yang
beliau sampaikan itu, selalu Saya jadikan bahan renungan pada momen momen di
mana Saya melihat realita di lapangan. Betapa banyak saudara-saudara Kita yang
belum mengenal islam karena kurangnya para Da’i yang menyentuh mereka. Bahkan
sangat mungkin ada saudara-saudara yang sudah masuk islam, namun kembali
menganut agamanya yang dahulu lantaran tidak ada Da’i yang mengawal kemantapan
keislamannya.
Ketika Saya
mendapat tugas sebagai Tenga Ahli Keagamaan di Kabupaten Enrekang yang
merupakan utusan dari Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, pesan yang Saya
pernah Saya dengarkan dari lisan beliau itu terus terngian-ngian. Sampai suatu
waktu Saya menyempatkan untuk jalan-jalan ke Kabupaten Tanah Toraja ingin
melihat secara langsung. Ketika Saya melewati perbatasan Enrekang-Toraja, Saya
langsung bergumam dalam hati, “Kok beda banget yah. Padahal baru diperbatasan.
Dimana suasana sangat lain”
Saya melakukan
dialog kepada diri Saya sendiri, kok bisa beda. Padahal, baru saja Saya
melewati suatu wilayah yang penduduknya mayoritas islam. Kenapa seakan terjadi
skat yang kokoh dan kuat, hanya sekian meter Saya mendapatkan perubahan yang
signifikan tentang perbedaan agama.
Dalam
perjalanan menuju destinasi wisata yang kami agendakan, tak henti-hentinya
pikiran tentang kenapa ini bisa terjadi? Saya lalu menemukan satu jawaban, bahwa
bukankah Allah yang memberi hidayah kepada seseorang? Apakah Ia akan memeluk
islam atau tidak. Tentu jawabannya adalah betul. Bahwa Allahlah yang memberikan
hidayah kepada seseorang terhadap siapa yang Ia kehendaki. Realitas ini terjadi
sendiri kepada Dai tulen yang tidak mungkin diragukan lagi tentang semangat
juangnya dalam berdakwah yaitu Rasulullah sallahu alaihi wasallam. Ia tak
henti-hentinya mengajak pamanya agar masuk Islam, bujukan yang tak terkira itu
beliau upayakan sampai Pamanya sendiri wafat dengan tanpa mengenakan pakaian
islam. Padahal ini bujukan langsung dari Rasulullah.
Oke, Rasulullah
telah berupaya semaksimal mungkin dengan segala potensi yang beliau miliki
namun kehendak Allah berkata lain. Bagi Saya ini sangat berbeda cerita dengan
sudara-saudara yang ada di Tanah Toraja. Mereka mungkin belum pernah ada yang
bujuk, melakukan dakwah dari pintu ke pintu, face to face, melakukan
proyek-proyek yang menyentuh mereka dengan nilai-nilai islami. Bagi
penanggugjawab Dakwah tentu ini amanah besar. Apakah Kita telah menjadikannya
sebuah agenda Dakwah Kita. Atau jangan-jangan Kita telah pesimis sebelum
melakukan kerja-kerja dakwah ini.
Baiknya Kita
bercermin dengan nilai optimisme yang ditanamkan oleh Rasulullah, Ketika
Rasulullah sallahu alaihi wassalam berdakwah di sebuah daerah Namanya Thaif.
Lalu nabi dihujani dengan batu yang membuarnya cedera berat. Lalu Allah
kerahkan bala tentara langit kepada Rasulullah untuk memutuskan suatu keputusan
kepada para penduduk Taif. Para malaikat menawarkan berbagai macam azab dari
mereka. Namun dengan optimis yang tinggi Rasulullah tidak memilih tawaran para
malaikat untuk menghabisi warga Thaif. Justru Nabi berdoa agar secerca harapan
menghampiri mereka kelak, berharap agar anak-anak mereka menjadi pemeluk islam
yang sejati.
Seiring
berjalannya waktu, cita-cita yang diinginkan Rasulullah pun akhirnya terwujud.
Taif menjadi salah satu sentral kekuatan Islam. Semua tentang Doa dan optimisme
yang dibangun oleh Rasulullah. Apakah Kita punya upaya dan optimisme yang
seperti dibangun oleh Rasulullah?
Dimana dapat
dikatakan setiap waktu, pekan, bulan, tahun, upaya dan optimisme kita ditagih.
Begitu banyaknya orang yang membutuhkan dakwah Kita, setiap Jumat diharapkan
kehadiran seorang pengkhutbah yang akan memberikan khutbah di mimbar-mimbar
masjid mereka. Kita sungguh miris mendengar sebuah tempat terpkasa tidak
jumatan karena tidak ada penghutbah dan tidak jadi tarwih karena tidak ada imam
tarwih. Bahkan jangan-jangan juga tidak ada yang solat karena tidak ada imam.
Nauzubilllah min zaalik.
Maka tepat apa
yang selalu beliau sampaikan.
"Kebaikan
(Dakwah) itu ibarat Kipas Angin. Jika ia tetap bergerak maka akan terus
memberikan kesejukan bagi orang lain. Tetapi, jika ia berhenti untuk bergerak
maka ia tidak lagi bisa memberikan kebaikan pada orang lain." UABM
Aktivitas
Dakwah terus kita jalankan agar menjadi kebaikan buat orang lain, dan
mempermudah hisab Kita dihadapan Allah karena telah menjalankan suatu
kewajiban.
Comments
Post a Comment