Arah Baru Jurnalisme Islam
Kata Pengantar
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah subhanahu wata’ala
yang telah memberikan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul: Arah Baru Jurnalisme Islam
Salawat
dan salam Kita haturkan kepada teladan kita, Rasulullah Muhammad sallahu
‘alaihi wasallam. Semoga salawat dan salam juga tercurah kepada keluarga,
sahabat, para tabi’in, tabi’u tabi’in, para pejuang agama-Nya, dan para
pengikut setianya hingga akhir zaman.
Terima
kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Nurhidayat Muhammad Said, M.Ag selaku
dosen pengampuh mata kuliah Komunikasi Islam. Terima kasih juga tak lupa
penulis ucapkan kepada teman-teman seperjuangan, saudara Syamsuddin, Ridwan, Agung
Wahyudi, Haris Abdul Wahid, Muhammad Ilham, juga kepada saudari Hikmah
dan Nur Faradillah atas dukungannya berupa sharing-sharing saran dan
masukan sehingga penulis dapat menyelasasikan makalah ini.
Penulis
menyadari sepenuhnya, makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi
penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pembaca guna menjadi
acuan agar penulis dapat menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.
Semoga
makalah ini dapat menambah wawasan para pembaca dan dapat bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.
Makassar,
15 April 2022
Penulis
DAFTAR ISI
A. Pengertian
Jurnalisme Islami
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jurnalisme dalam dunia islam memegang peranan yang sangat penting terutama
dalam menyebarkan dakwah. Kegemilangan Islam saat ini itu tidak bisa dipungkiri
dari peran para Jurnalis andal dalam menyebarkan dakwah.
Kehandalan Jurnalis muslim dalam melakukan dakwah sudah tidak
diragukan lagi. Jurnalis islam telah berhasil menyebarkan syiar islam dan
pengaruh-pengaruhnya seantero dunia. Jurnalis islam memiliki kontrol sosial
terhadap masyarakat untuk melakukan perubahan dari kebiasaan buruk menjadi
kebiasaan yang lebih baik. Demikian pula dengan fenomena sosial saat ini, pers
sangat penting terutama untuk mendukung program-program pemerintahan agar
terlaksana dengan baik.
Salah satu masalah besar Islam pada era informasi sekarang ini
adalah tidak dimilikinya suatu media massa yang memadai bagi mereka untuk
menegakkan dan memperjuangkan nilai-nilai islam, atau membela kepentingan agama
dan umat islam. Akibatnya yang terjadi tidak hanya kurang tersalurkannya
aspirasi umat islam, tetapi juga umat islam hanya menjadi konsumen dan rebutan
media massa lain yang tidak jarang membawa informasi yang menyesatkan bagi
mereka. Tampaknya sudah menjadi sunnatullah agama dan umat islam selalu
mendapatkan berbagai serangan atau tantangan, dari mereka yang tidak menyukai
islam. Dewasa ini barat menguasai era informasi dengan segala keunggulan
system, teknik dan media informasi yang tersebar luas dengan menjangkau seluruh
dunia.
Pers barat senantiasa
berusaha memanipulasi atau merekayasa pemberitaan tentang agama dan umat islam,
dengan tujuan memojokkan posisi islam di arena internasional. Lebih dari itu
media massa barat dan agen-agennya gencar mensosialisasikan nilai-nilai
pemikiran dan budaya mereka ke dunia
islam, agar pola pikir dan gaya hidup umat islam cenderung lebih berkiblat ke
barat dari pada taat pada aturan islam. Tidak heran, jika isme-isme seperti
materialisme, sekularisme, serta nasionalisme mewabah di kalangan masyarakat
islam, diiringi terjadinya pemujaan terhadap segala hal yang berbau atau datang
dari barat, berkat kekuatan promosi dan setting media informasi mereka.
B.
Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas dan untuk memfokuskan
pembahasan ini, maka dipandang perlu untuk merumuskan permasalahan yang terkait
ruang lingkup pembahasannya meliputi :
1.
Pengertian
Jurnalisme Islami
2.
Prinsip
Jurnalisme Islam
3.
Etika
Jurnalisme Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jurnalisme
Islami
Jurnalisme merupakan keseluruhan proses pengumpulan fakta
penulisan, penyuntingan, dan penyiaran berita. Dengan perkataan lain, semua
kegiatan yang bermuara pada penyiaran berita, mulai dari pengumpulan fakta,
penulisan, sampai pada penyuntingan berita disebut jurnalisme.[1]
Dari segi kata, jurnalisme berasal dari kata “jurnal” dan
“isme”. Jurnal artinya laporan, isme artinya paham atau ajaran. Jurnalisme
artinya paham atau aliran jurnalistik. Isme artinya paham, seperti pada kata
nasionalisme, patriotisme dll. Secara bahasa, istilah dan praktis, nyaris tidak
ada beda antara pengertian jurnalistik dan jurnalisme hakikatnya sama. Secara
harafiah, pengertian jurnalisme (berasal dari kata journal) yaitu catatan
harian atau catatan mengenai kejadian sehari-hari. Jadi Jurnalisme Islam adalah
Jurnalisme berlandaskan nilai-nilai Islam
Jurnalisme merupakan kegiatan yang berhubungan kegiatan untuk
mencari dan mengolah informasi untuk disiarkan ke khalayak. Dalam
perkembangannya, jurnalisme menjadi sebuah profesi yang dilakukan oleh seorang
yang bekerja pada media massa. Di dalam profesi dibutuhkan keahlian dan kerja
sesuai dengan keahliannya sehingga orang itu mendapat imbalan[2]
Jurnalisme adalah seni dan profesi dengan tanggung jawab
profesional art and craft with professional respondsibilities yang
mensyaratkan wartawannya melihat dengan mata yang segar eyes that see pada
setiap peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik. Jurnalisme bukanlah
tentang menulis saja.
Jurnalistik Islami adalah Jurnalisme dakwah, maka setiap jurnalis
Muslim, yakni wartawan dan penulis yang beragam Islam berkewajiban menjadikan
Islam sebagai ideologi dalam profesinya, baik yang bekerja pada media massa
umum maupun media massa Islam (Muis, 2001; Amir,1999).
Suf Kasman (2004) memberi definisi yang lebih lengkap untuk
Jurnalisme Dakwah, yaitu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai
peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam dengan mematuhi kaidah-kaidah
jurnalistik dan norma-norma yang bersumber dari Quran dan Hadits. Pendapat ini
sejalan dengan Malik (1984) yang mendefinisikan jurnalisme
Oleh Emha Ainun Nadjib (dalam Kasman, 2004: 20). Menurutnya,
jurnalistik Islami adalah teknologi dan sosialisasi informasi dalam kegitan
penerbitan tulisan yang mengabdikan diri kepada nilai-nilai agama Islam.
Jurnalistik Islami pun bernafaskan jurnalisme profetik, suatu
bentuk jurnalisme yang tidak hanya melaporkan berita dan masalah secara
lengkap, jelas, jujur, serta aktual, tetapi juga memberikan interpretasi serta
petunjuk ke arah perubahan, transformasi, berdasarkan cita-cita etik dan
profetik Islam. Ia menjadi jurnalisme yang secara sadar dan bertanggungjawab
memuat kandungan nila-nilai dan cita Islam (M. Syafi’i Anwar, 1989:166).
Jurnalis berpesan (memberikan message) dan berusaha keras untuk
mempengaruhi komunikan (khalayak, massa) agar berperilaku sesuai dengan ajaran
Islam. Jurnalistik Islami, dengan demikian, mengemban misi ‘amar ma’ruf nahyi
munkar, sebagaimana firman Allah SWT,
“Dan hendaklah ada sebagian di antara kamu sekelompok orang yang
senantiasa mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, dan mencegah
yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. 3:104).
B. Prinsip Jurnalisme Islam
Sebagai dalam skala yang lebih luas, jurnalis Muslim bukan saja
berarti para wartawan yang beragama Islam dan berkomitmen dengan ajaran
agamanya, melainkan juga cendekiawan muslim, ulama, mubalig yang cakap bekerja
di media massa dan memiliki setidaknya 5 peranan (Romli, 2003: 39-41):
a.
Muaddib
Yaitu sebagai pendidik. Yakni melaksanakan fungsi edukasi yang
Islami. Ia harus lebih menguasai ajaran agama Islam dari rata-rata khalayak
pembaca. Lewat media massa, ia berperan mendidik umat Islam agar melaksanakan
perintah-Nya dan menajuhi larangan-Nya. Ia memikul tugas untuk mencegah umat
Islam melenceng dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk
media massa non Islami yang anti-Islam.
b.
Musaddid
Yaitu sebagai Pelurus informasi. Dalam hal ini, setidaknya ada 3
hal yang harus diluruskan oleh para wartawan Muslim. Satu, informasi tentang
ajaran dan umat Islam. Dua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat
Islam. Tiga, terkait jurnalis Muslim hendaknya mampu menggali (dengan
investigative reporting) tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia.
Peran musaddid amat relevan dan penting mengingat informasi tentang Islam dan
umatnya yang datang dari pers barat biasanya bias (menyimpang dan berat sebelah),
distorsif, manipulatif, penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang notabene
tidak disukainya. Di sini, jurnalis Muslim dituntut berusaha mengikis fobi
Islam (Islamophobia) dari propaganda pers barat yang anti-Islam.
c.
Mujaddid
Sebagai pembaharu, yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman
dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam). Wartawan Muslim hendaknya
menjadi juru bicara para pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh
Quran dan As-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya
(membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme yang tidak
sesuai ajaran Islam), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.
d.
Muwahid
Sebagai pemersatu, yaitu menjadi jembatan yang mempersatukan umat
Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak
memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi)
harus ditegakkan. Wartawan muslim harus membuang jauh-jauh sikap sektarian
(berpihak sebelah pada golongan tertentu).
e.
Mujahid
Sebagai
pejuang, yaitu pejuang-pejuang pembela Islam. Melalui media massa, wartawan
muslim berusaha keras mendorong penegakan nilai-nilai Islam, menyemarakkan siar
Islam, mempromosikan citra lslam sebagai rahmatan lilalamin.
Dalam ranah praktis, Jurnalis juga dituntut memiliki kemampuan
teknis dan etis sebagaimana dituntunkan dalam Quran. Hal ini menurut Romli
(2003) dan Amir (1999) tercermin dalam berbagai bentuk akhlaqul karimah yakni:
Satu, menyampaikan informasi dengan benar, juga tidak merekayasa
atau memanipulasi fakta (QS. Al-Hajj: 30).
Dua, bersikap bijaksana, penuh nasihat yang baik, serta argumentasi
yang jelas dan baik pula. Karakter, pola pikir, kadar pemahaman objek pembaca
harus dipahami sehingga berita yang disusun akan mudah dibaca dan dicerna (QS.
An-Nahl: 125).
Tiga, meneliti fakta/cek-ricek. Untuk mencapai ketepatan data dan
fakta sebagai bahan baku berita yang akan ditulis, jurnalis Muslim hendaknya
mengecek dan meneliti kebenaran fakta di lapangan dengan informasi awal yang ia
peroleh agar tidak terjadi kidzb, ghibah, fitnah dan namimah (QS. Al-Hujarat:
6).
Empat, tidak mengolok-olok, mencaci-maki, atau melakukan tindakan
penghinaan sehingga menumbuhkan kebencian (QS. Al-Hujarat: 11).
Lima, menghindari prasangka buruk/su’udzon. Dalam pengertian hukum,
jurnalis hendaknya memegang teguh “asas praduga tak bersalah”.[3]
C. Etika Jurnalisme Islam
Mengingat pentingnya Jurnalisme Islam dalam kode etik, dan untuk
menghindari berbagai kemungkinan negatif dalam dakwahnya, hendaknya bagi
seorang jurnalis muslim harus memiliki kode etik tersendiri sesuai dengan
tuntutan ajaran Islam. Dengan demikian, umat Islam yang sedang menghadapi cobaan
berupa hinaan, cemoohan, dan intimidasi dari kelompok-kelompok yang tidak
menyukai Islam akan kembali bangkit melalui media massa.[4]
Pada tahun 1937-an muncul gagasan dari Fakhruddin Al-Khairi,
pemimpin surat kabar Madzhab Ahl Al-Sunnah (MAS) di Tasikmalaya agar seluruh
potensi yang ada pada pengarang dan kaum jurnalis Islam disatukan ke dalam satu
wadah (Perkumpulan Wartawan Muslim) untuk menghadapi berbagai persoalan umat
Islam dan persoalan kaum jurnalis Islam itu sendiri.
Kemudian, pada tahun yang sama gagasan cemerlang dari Fakhruddin
Al-Khairi itu disambut baik oleh surat kabar "Adil" yang berdomisili
di kota Solo. Mereka mengajak juga kepada segenap penulis dan wartawan Islam
supaya berpikir dan merembukkan gagasan dari Madzhab Ahl Al Sunnah tersebut.
Akhirya setelah melalui pergulatan yang cukup panjang disepakati akan diadakan
sebuah pertemuan pers setelah berakhirnya kongres Muhammadiyah di Yogyakarta.
Dalam pertemuan yang dihadiri kaum penulis dan wartawan Islam itu dibahas
berbagai masalah yang menimpa umat dan wartawan Islam yang berujung pada
dibentuknya suatu "Komisi Penyelidik Pers Islam".
Dengan lahirnya Komisi Penyelidik Pers Islam itu, disambut baik
oleh seluruh pelaku media pers Islam di Indonesia. Diharapkan dengan hadirnya
lembaga tersebut berbagai masalah yang menyangkut dunia Islam setahap demi
setahap terselesaikan. Bahkan surat kabar Pemandangan, surat kabar berpengaruh
yang bermotokan "Islam dan Kebangsaan", dengan sengaja menurunkan
induk karangannya (20 Juli 1937) yang menganggap perlu mempertimbangkan adanya
suatu wadah yang berguna menghimpun wartawan Islam. Nantinya, dengan adanya
wadah itu sangat berguna untuk membicarakan berbagai masalah yang menyangkut
dunia Islam sehingga berbagai tulisan, berita maupun ulasan tentang Islam tidak
terjadi lagi "tumpang tindih" informasi, yang merugikan bahkan sampai
menjatuhkan harkat dan martabat umat Islam.[5]
Mengingat terus mendesaknya berbagai persoalan jurnalistik termasuk
kode etik yang harus segera mendapat tanggapan dari umat Islam, Badan
Pertahanan Islam (BPI) di Medan cepat-cepat mengambil inisiatif. Mereka
mengundang seluruh kaum muslimin yang mengatasnamakan dirinya sebagai bagian
wartawan muslim, baik yang ada di media massa Islam maupun umum, terlebih dari
pers Islam untuk kembali merembukkan gagasan yang baik dari Tasikmalaya itu.
Kemudian disepakati untuk mengadakan perundingan konferensi pers.
Pertemuan pertama yang berlangsung pada tanggal 29-30 Januari 1938 di Medan
itu, disepakati untuk dibentuknya sebuah organisasi yang dapat menampung
berbagai aspirasi wartawan Islam, yakni, "Wartawan Muslim Indonesia"
dengan sebutan lain, "Warmusi". Selain pembentukan Warmusi, dalam
pertemuan itu juga berlangsung penetapan susunan pengurusnya yang terdiri dari
Zainal Abidin Ahmad dan Hamka, masing-masing sebagai ketua dan ketua I, serta
M. Yunan Nasution sebagai sekretaris.
Dengan lahirnya Warmusi saja tidak cukup untuk menjawab tantangan
umat Islam waktu itu. Kemudian diadakan rapat anggota kali pertama, yang
diselenggarakan pada tanggal 24-25 Februari 1938 dan pada bulan berikutnya.
Dari hasil pertemuan itu disusunlah anggaran dasar Warmusi
Termasuk kode jurnalistik Islam. Setelah ditetapkannya anggaran
dasar Warmusi, secara tidak langsung hal itu menandakan pula kelahiran Kode Etika
Jurnalistik Islam di Indonesia. Yang mengacu kepada kerangka empat moralitas
yang digariskan.
Mengacu kepada kerangka empat moralitas yang digariskan Karl Wallace
sebagai garis pedoman etika, secara garis besar dan ringkas semua norma etis
yang disebutkan di atas dapat disimpulkan kepada beberapa etika jurnalistik
yang terdiri dari: Fairness, Accuracy, bebas bertanggung jawab, dan
kritik-konstruktif.
1. Fairness (Bersikap Wajar dan Patut)
Dalam penyampaian informasi, seorang jurnalis tidak bisa lepas dari
unsur kepatuhan. Misalnya menerapkan etika kejujuran, kebenaran dan keadilan
atau tidak memihak dengan menulis berita secara berimbang.
a. Kejujuran
Aspek kejujuran dalam jurnalistik merupakan etika yang didasarkan
kepada data dan fakta. Fakta menjadi kunci etika kejujuran. Menulis dan
melaporkan informasi dilakukan secara jujur, tidak memutarbalikkan fakta,
bersikap apa adanya merupakan kunci kesuksesan dalam jurnalistik. Dalam istilah
lain, semua informasi harus benar-benar teruji kebenarannya dan orangnya harus
benar-benar terpercaya.
b. Kebenaran
Seorang wartawan dituntut untuk menyampaikan informasi berdasarkan
fakta yang terjadi, bukan berita bohong atau bersifat mengada-ada. Dengan
istilah lain berasaskan kepada kebenaran. Al-Quran mengajarkan agar kita
berkata benar dan tidak boleh mencampuradukkan kebenaran apalagi
menyembunyikannya. Yang benar datangnya dari Allah.
Jurnalisme bukan mengejar kebenaran dalam pengertian yang absolute atau filosofis, tetapi bisaa dan harus mengejar kebenaran dalam pengertian yang praktis. Kebenaran journalistic truth adalah proses dalam pengumpulan verivikasi data. Jurnalis kemudian berusaha
[1] Musman, Asti. Dasar-Dasar Jurnalistik,
(Yogyakarta, 2021), hal. 1.
[2] Nurudin, 2009 : 9
[4] Sutiman Eka Ardhana, Jurnalistik Dakwah, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1994), hal. 52
[5] Daulani, Hamdan. Jurnalistik dan Kebebasan Pers (Bandung,
Rosda, 2016), hal. 49
menyampaikan makna tersebut dalam sebuah laporan yang adil dan
terpercaya, berlaku untuk saat ini, dan dapat menjadi bahan untuk investigasi
lanjutan. Jurnalis harus sedapat mungkin bersikap transparan mengenai
sumber-sumber dan metode yang dipakai, sehingga audiens dapat menilai informasi
yang disajikan.[1]
Seseorang dilarang mencampuradukkan antara hak dan batil dan mereka
suka menyembunyikan yang hak padahal mereka telah mengetahuinya (QS.
Al-Baqarah; 42). Agar manusia tidak mengalami kerugian dalam hidupnya, antara
lain harus saling memberi nasihat dengan dasar kebenaran dan kesabaran
(Al-Ashr; 3). Menyampaikan informasi sesuai fakta dalam komunikasi massa adalah
aspek penting.
Dalam pengertian tersebut terkandung prinsip etika dengan tidak
memutarbalikkan fakta yang terjadi sehingga menyesatkan orang banyak. Ini
berarti sifat-sifat orang bertakwa menjadi prasyarat untuk mampu berbicara
benar. Artinya ketika takwa seseorang sudah mantap, maka komunikasi yang
dilakukan akan menjadi benar (syadidan). Dengan demikian, kemampuan berkata
benar menjadi prasyarat untuk menghasilkan karya yang berkualitas. Kemudian
sifat takwa dan berkata benar akan mengantarkan seseorang kepada pengampunan
dosa-dosanya dan sukses besar.
c. Keadilan
Dalam praktik jurnalistik berlaku prinsip etis adil dan berimbang.
Artinya, tulisan harus disajikan secara tidak memihak. Menyajikan berita yang
bersumber dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan, penilaian atau sudut
pandang masing-masing terhadap suatu kasus berdasarkan prinsip berimbang dan
adil.
Adil menurut kaidah Islam adalah memberikan sesuatu yang menjadi
hak seseorang, atau mengambil sesuatu dari seseorang yang menjadi kewajibannya.
Adil juga berarti sama dan seimbang dalam memberi balasan, seperti berlakunya
hukum qishash atau diat. Adil merupakan lawan kata dari dzalim.
Terkait dengan berkata-kata adil, berarti umat Islam diperintahkan
untuk berkomunikasi dengan adil. Artinya harus berkomunikasi dengan benar,
tidak memihak, berimbang, dan tentunya sesuai dengan haknya. seseorang. Dalam
tafsir, memang perintah berkata adil di sini lebih berorientasi kepada
pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi secara umum bisa dianalogikan kepada
semua bentuk komunikasi, baik lisan maupun tulisan.
2. Bertanggungjawab
Konsep kebebasan pers dalam Islam akan selalu beriringan dengan
konsep tanggung jawab. Keduanya ibarat dua sisi mata uang, setiap sisi dengan
yang lain tidak mungkin dipisahkan. Setiap manusia diberi kebebasan untuk
berbuat apa saja, tetapi harus bertanggung jawab kepada norma-norma yang
berlaku. Pers bebas menyiarkan sesuatu tetapi harus mempertanggungjawabkan apa
yang disiarkannya. Ia harus menjamin kebenaran yang disampaikan kepada
khalayak, mengingat setiap perbuatan benar pasti akan memperoleh hasil yang
baik.
Menurut Yusuf Khair, yang paling penting bagi insan pers Islam
adalah bertanggung jawab terhadap yang disajikan bukan hanya di hadapan para
penguasa di dunia saja (karena mungkin mereka telah menyajikan cerita cerita
bohong dalam rangka menyelamatkan diri). Namun, yang menjadi patokan terpenting
adalah kesadaran bahwa mereka bertanggung jawab di hadapan Allah Swt pada hari
kiamat nanti atas berita-berita, kritikan, dan saran yang telah disajikan
kepada khalayak banyak. Hendaknya mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui dan
mengawasi detak hati nuraninya serta akan memperhitungkan kekhianatan dan
kebohongan yang telah diperbuat.
Bagi wartawan Islam, dalam aspek tanggung jawab dengan tegas
dialamatkan kepada publik dan Allah Swt. Sementara dalam etika komunikasi barat
aspek tersebut tidak kelihatan (bersifat semu). Sebagaimana yang dikemukakan
Richard L. Johannese dengan mengemukakan pendapat beberapa pakar.
Sebagai komunikator, tanggung jawab etis kita dapat tumbuh dari
sebuah status atau posisi yang telah diperoleh atau telah disepakati, lewat
komitmen (janji, sumpah, persetujuan) yang telah kita buat, atau lewat konsekuensi
(efek, dampak) komunikasi kita kepada orang lain. Tanggung jawab mencakup unsur
pemenuhan tugas dan kewajiban, dapat dipertanggungjawabkan pada setiap individu
dan kelompok lain, juga dapat dipertanggungjawabkan menurut hati nurani kita
sendiri. Akan tetapi, unsur penting dalam komunikasi yang bertanggung jawab
untuk menerima dan mengirim adalah penggunaan penilaian yang dipikirkan secara
matang dan mendalam. Contohnya komunikator yang bertanggung jawab akan
menganalisis setiap tuntutan dengan hati-hati, memperhitungkan setiap akibat
yang mungkin, dan secara sadar menimbang nilai-nilai yang relevan.
Dari pemahaman di atas kiranya dapat diambil beberapa inti
pemikiran antara lain; seorang komunikator yang bertanggung jawab adalah
komunikator yang mampu menjawab hasil kerja jurnalistiknya. Kemampuan untuk
menanggapi (bersifat tanggap) setiap kebutuhan dan berkomunikasi dengan orang
lain dengan cara yang peka, cermat, dan tepat. Perasaan sebagai diri yang
bertanggung jawab paling tidak merupakan syarat mutlak untuk penghargaan diri.
Intinya tidak satupun etika tanggung jawab yang ditujukan kepada Allah Swt
sebagaimana dalam Islam. Semuanya bertumpu pada etika di luar pengertian
konteks keagamaan.
Oleh karena itu, wartawan muslim harus bersikap tegas dalam memperjuangkan
dakwah islamiyah lewat karya tulisnya kepada publik Tentunya, dengan cara-cara
manusia beradab tidak barbarian (kasar dan kejam). Tujuan yang baik harus
disertai cara yang baik pula. Wartawan muslim tentunya tidak akan merusak
kredibilitas agamanya dengan menebarkan informasi bohong, menghasut serta
memfitnah, Meminjam istilah Kang Jalal yang dikutip oleh Suf Kasman, wartawan
muslim harus menjadi orang saleh dan muslih, hadin, dan muhtadin (yang mendapat
petunjuk dan yang memberi petunjuk), bukan fasid dan mufsid (yang rusak dan
merusak pembaca) atau dhal dan mudhil (yang sesat dan menyesatkan).
Maka sebagai acuannya wartawan Islam harus memegang teguh terhadap
nilai-nilai kode etik jurnalistik, tentunya sesuai ketentuan normatif dalam
al-Quran. Adapun, dari beberapa surat dalam al-Quran menyinggung tentang
nilai-nilai yang harus tercantum pada kode etik jurnalistik, antara lain:
1. Wartawan harus
seorang yang jujur, adil, dan berperilaku baik.
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih
tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin
menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan.
2.
Menginformasikan atau menyampaikan berita yang benar saja (tidak berbohong),
juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta.
"Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Sesungguhnya
kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu memimpin kepada surga.” (HR. Muttafaq 'Alaih).
3. Bijaksana, penuh nasihat yang
baik, serta argumentasi yang jelas dan baik pula. Karakter, pola pikir, kadar
pemahaman objek pembaca harus dipahami sehingga tulisan berita yang dibuat pun
akan disesuaikan sehingga mudah dibaca dan dicerna. Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik.
4. Meneliti
kebenaran berita atau fakta sebelum dipublikasikan alias melakukan check and
recheck.
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Hindari olok-olok menghina, atau caci maki sehingga menumbuhkan permusuhan
dan kebencian. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang
laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka, dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik, dan janganlah suka mencela
dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman.
6. Hindarkan
prasangka buruk (suudzhan). Dalam istilah hukum pegang teguh "asas praduga
tak bersalah".
Disebutkan dalam QS. Al-Qur'an-Hujurat (49): ayat 12: “Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), Karena sebagian
dari purbasangka itu dosa, dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang.”
7. Seorang
wartawan dilarang memungut imbalan khususnya dari narasumber.
Katakanlah: "Upah apapun yang Aku minta kepadamu, maka itu
untuk kamu upahku hanyalah dari Allah, dan dia Maha Mengetahui segala
sesuatu". Dan Aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas
ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.
Jika dilihat dari beberapa nilai-nilai kode etik jurnalistik di
atas, tidak dapat dibedakan antara kode etik jurnalistik dalam Islam dan kode
etik jurnalistik secara umum. Mengingat semuanya bersandar pada sebuah
kejujuran, kebaikan, kebenaran, kebebasan, dan keadilan. Misalnya, pada kode
etik jurnalistik umum pasal 8 disebutkan: "Wartawan Indonesia tidak
menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap
seorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan
bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa
atau cacat jasmani." Sementara nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik
jurnalistik Islam juga menyebutkan, "Setiap wartawan muslim harus
menghindari prasangka buruk (suudzhan)." Atau pada pasal 4 kode etik
jurnalistik umum menyebutkan, "Wartawan Indonesia tidak membuat berita
bohong, fitnah, sadis, dan cabul," Sementara dalam Islam juga dijelaskan
bahwa "Menginformasikan atau menyampaikan
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jurnalisme
merupakan keseluruhan proses pengumpulan fakta penulisan, penyuntingan, dan
penyiaran berita. Dengan perkataan lain, semua kegiatan yang bermuara pada
penyiaran berita, mulai dari pengumpulan fakta, penulisan, sampai pada
penyuntingan berita disebut jurnalisme.
Dari segi kata,
jurnalisme berasal dari kata “jurnal” dan “isme”. Jurnal artinya laporan, isme
artinya paham atau ajaran. Jurnalisme artinya paham atau aliran jurnalistik.
Isme artinya paham, seperti pada kata nasionalisme, patriotisme dll. Secara
bahasa, istilah dan praktis, nyaris tidak ada beda antara pengertian
jurnalistik dan jurnalisme hakikatnya sama. Secara harafiah, pengertian
jurnalisme (berasal dari kata journal) yaitu catatan harian atau catatan
mengenai kejadian sehari-hari. Jadi Jurnalisme Islam adalah Jurnalisme
berlandaskan nilai-nilai Islam
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim.
Musman,
Asti. Dasar-Dasar Jurnalistik, (Yogyakarta, 2021), hal. 1.
Jurnalisme Dalam Bingkai Islam: Ayat dan Hadits Tentang Jurnalistik
(follyakbar.id)
Sutiman Eka
Ardhana, Jurnalistik Dakwah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 52
Comments
Post a Comment